Tunanetra Berhati Surga
Awal Perkenalan
Kedekatan saya dengan penghafal Al-Quran berdarah asli Sale-Rabat ini bermula tak sengaja. Ketika itu ia berdiri mematung di dekat meja resepsionis sebuah acara seminar sehari tentang hari Bahasa Arab se-dunia (18/12) Sementara ratusan peserta—mayoritas mahasiswa Jurusan Studi Islam Fakultas Adab dan Humaniora dari jenjang s1 hingga s3—berseliweran dan bergantian mengisi daftar hadir. Acara ini dihitung kuliah umum wajib.
“Assalamu’alaikum, ya akhi Muhammad.” Saya menyapanya terlebih dahulu. Mendekatkan suara pada telinganya.
“Wa’alaikum salam. Ahlan wa marhaban bik ya akhi.” Jawabnya ramah dan tegas.
“Labaas..?
“Labaas, alhamdulillah.”
“Man hadza. Siapa ini?” Tanyanya kemudian. Pertanyaan yang kerap saya dengar jika bertemu orang baru atau belum lama dikenalnya. Memang sejak lebih dari sepuluh tahun, dia hanya mengandalkan pendengaran.
Dia satu kelas dengan saya, namun tidak pernah mengobrol. Bertemu hanya saat sama-sama mendengarkan kuliah atau shalat berjamaah di mushalla.
“Ana Risyan Nurhakim, Anduuniisi.”
“Kenapa masih berdiri di sini?” Tanya saya.
“Teman-temanku tidak kembali menjemputku. Mereka bilang mau mengisi daftar hadir dan ke toilet. Tapi sudah 10 menit belum balik-balik.” Ujarnya.
“Mereka jahat sekali padaku. Huh! Habis membubuhkan tanda tangan di daftar hadir, satu persatu mereka meninggalkanku.” Lanjutnya dengan nada setengah bercanda, setengah tertawa.
“Ha ha ha…” Saya ikut tertawa.
“Mari ikut saya kalau begitu. Kita masuk ke aula.” Saya menggandeng tangannya sembari tertawa renyah.
Depan Aula Al-Idriisiy
Fakultas Adab dan Humaniora Muhammad V ini memiliki beberapa aula. Ada aula Ibnu Khaldun untuk kuliah umum bagi Mahasiswa. Aula Hajji untuk sidang tesis atau disertasi. Aula ‘Abid Al-Jabiri untuk pertemuan para dosen dan dekanat. Sementara aula Al-Idriisy, aula antik dan besar ini khusus untuk acara seminar besar. Seperti seminar bahasa Arab waktu itu.
“Tunggu.” Cegah dia.
“Ada apa?”
“Kamu jangan pegang aku seperti itu. Cukup kamu berjalan di depanku saja namun agak samping. Nanti satu tanganku memegang pundakmu.” Paparnya menjelaskan cara menuntun tunanetra yang benar.
Aula sudah penuh dengan peserta. Bahkan banyak yang berdiri berdesakan di pintu masuk. Sementara di jejeran kursi terdepan masih tampak beberapa yang kosong. Namun sudah booked untuk para dosen dan pejabat kampus, kata panitia. Saya memutar pandangan sampai mentok di pojok kanan. Di situ ada dua kursi tambahan.
“Cari tempat duduk paling depan saja.” Pintanya.
“Shaafii. Baiklah.”
Saya melangkah perlahan menerobos ke dalam aula. Hampir semua pandangan mata peserta yang tengah duduk tertuju pada Muhammad ini. Saya yang menuntunnya pun jadi objek sorot mata mereka. Mirip bintang yang berjalan di atas karpet merah dan disaksikan ratusan pasang mata. Tap tap tap…!
“Hati-hati ya, jalannya menurun dengan beberapa tangga pendek di depan kita.” Pesan saya.
“Saya tahu.” Ia menanggapi sambil senyum.
“Hah, tahu darimana?” Tanya saya penasaran.
“Dari pundakmu yang saya pegang. Ketika saya merasakan badanmu sedikit turun, berarti kamu melangkah turun menapaki tangga.” Urainya.
“O ya ya, ini ilmu baru bagi saya.” Gumam saya dalam hati.
Berdasarkan data statistik tahun 2011, dari 39 juta jiwa tunanetra dunia ini (www.npbc.org.sa/numbers.htm), 90% di antaranya adalah warga negara berkembang (www.skynewsarabia.com/web/article/312318). 12% dari mereka penduduk timur tengah dan Maroko.
Kala jalan-jalan ke pusat kota (Medina), beberapa kali saya menemukan banyak tunanetra mengemis. Walau masih muda, mereka duduk mematung dan menengadahkan tangan memegang kardus atau plastik sumbangan. Terutama di dekat Bank Magrib yang sampai kini masih renovasi. Tak jauh dari bunderan Rue Soekarno-Rabat Mereka duduk terpencar hampir tiap seratus meter. Bahkan Rabu silam (6/1) saat berlari ke Medina, sekitar seratusan tunanetra berkumpul untuk berdemo di depan Gedung Parlemen Maroko. Entah apa yang mereka suarakan kepada pemerintah. Saya tidak begitu memperhatikan dengan baik, karena sedang ada misi pengejaran copet bis kota.
Jika mereka mengemis, teman saya ini sama sekali tidak.
***
Alhamdulillah, meski di pojok, akhirnya kami duduk berdampingan di jejeran kursi terdepan. Beberapa dosen jurusan Islamic Studies duduk di samping kami.
Karena acara belum dimulai, saya mulai mengobrol dengan Muhammad El-Wadhdhah. Kalau di kampungnya biasa dipanggil Al-Habib.
“Aina taskunu ya Nour Hakim?”
“Saya tinggal di Nahdha 2th. Wa inta?”
“Saya di Sale (baca: Sela) kamu tahu Sela?
“Ya, terakhir kami ke Sale-Rabat Airport, awal Desember lalu. Rumahmu dekat dari situ?”
“Dekat atuh (kalau kata, atuh, itu dari saya ya he he). Kurang lebih 2-3 km.”
“Dari Medina ke rumah saya naik Tram line-2.” Dia melanjutkan.
“Caranya, dari Bab Rewah Station dekat kampus ini naik tram Line-1 sampai Bab Joulan Station, turun di situ. Lalu pindah ke Bab Joulan 2, naik Tram line-2. Atau turun di La Marisa, lalu pindah ke Tram Line-2. Pokoknya kata kuncinya, Line-2 Tramway, turun di station terakhir. Pergantian line tidak perlu bayar lagi kok.”
“Kalau kamu mau ke bandara lagi, naik tram Line-2 itu saja. Nanti turun di station paling akhir (Hassan II). Dari situ kontak saya, nanti teman saya akan mengantarkan sampai bandara pakai mobil.”
Hah? baru saja ngobrol sebentar sudah menawarkan segala rupa. Saya tidak begitu menanggapi terlalu serius, karena beberapa kali saya berinteraksi dan mendapat tawaran baik dari orang Maroko, tapi rupanya hanya basa-basi.
Teringat di awal menemukan rumah kontrakan di Nahdha 2, teman Umar (anak tuan rumah) berjanji mengantar kami ke Taqaddum (nama pasar besar tradisional terdekat) untuk belanja kebutuhan kamar, seperti kasur, dan lain-lain. Kami saling tukar nomor hp, bersepakat berangkat sama-sama ke taqaddum jam 10 pagi besoknya. Start dari depan rumah tuan rumah kami.
“Kamu harus bareng dia, lalu biarkan dia yang beli dan menawar. Karena kalau pedagang tahu orang asing yang beli, harganya akan dinaikin.” Terang Umar.
Apa yang terjadi besoknya? Boro-boro jam sepuluh. Bahkan jam sebelas siang kami telpon, berkali-kali tidak diangkatnya. Baru diangkat setelah tiga kali kami bolak-balik telpon.
“Hisyam? Kaifa haluk? Aina anta?”
“Hm…hoam. Ana fil gurfah. Kalian mau jalan?”
La haula wa la quwwata illa billah!
Ternyata dia baru bangun. Padahal kami sudah siap segala rupa. Kami lupa, bahwa kini kami ada di tanah Arab. Secara umum, ngaret adalah hal lumrah.
Itu pengalaman pertama setelah dua bulan cukup terbiasa (atau terpaksa) hidup di Eropa yang strict dengan masalah waktu.
***
“Sudah menikah?” Tanya Muhammad melanjutkan obrolan menjelang dimulai acara.
“Alhamdulillah, lima tahun silam.”
“Wah sudah lama. Sudah punya anak?”
Ah, pertanyaannya kok privasi banget.
“Belum ditakdirkan. Saya mohon doanya ya. Mudahan segera dipercaya oleh Allah. ”
Kalau menjawab pertanyaan demikian, saya selalu sekalian memohon doa. Kita tidak tahu dari mulut orang saleh mana doa terkabul.
“Oh, sama. Saya juga belum punya anak. Bahkan saya sudah tujuh tahun menikah belum dikaruniai keturunan.”
O ow. Saya perhatikan wajah dia lebih serius, lalu melanjutkan obrolan. Apa saja yang diobrolkan? Sssst. Ini urusan laki-laki ya ha, ha, ha.
Dia menyarankan minum madu, habbah sauda (jinten hitam), terapi sengat lebah, bekam, dan sejumlah terapi alternatif lain. Saya balik menyarankan dia menerapkan foodcombining dan olahraga rutin biar segala hormon normal. Sebenarnya lucu, di acara seminar ini kami malah mengobrolkan masalah terapi alternatif. Lucunya lagi, masing-masing dari kami menawarkan terapi yang sudah dijalani.
Paparan berikutnya ini yang membuat saya tercenung haru.
“Tapi saya punya Kuttab Qurani (Sekolah Al-Quran) Muridnya sekarang 120 anak didik. Beberapa generasi sudah ada yang hafal Al-Quran. Bukan mesjid, tapi rumah yang saya jadikan langgar Al-Quran. Sudah lebih dari sepuluh tahun berdiri. Tiap jam 2 sore anak-anak datang sampai magrib. Gelombang kedua, dari magrib sampai kira-kira jam 9 atau jam 10. Pada setiap pertemuan, mereka harus menghafal satu halaman ayat yang mereka tulis sendiri di lauhah (kayu tulis khusus). Ini metode tradisional ala Maroko dalam menghafal Al-Quran.”
Dia menjelaskan panjang lebar tentang langgarnya.
“Kapan kamu ada waktu untuk berkunjung ke langgar saya? Tentukan saja harinya. Sabtu, Ahad, atau Senin, pas tidak ada jadual kuliah. Biar kamu lihat aktifitas kami.”
Saya yang terpesona dengan paparan dia langsung terperanjat mendengar ajakannya. Ini ajakan orang saleh. Berkali-kali dia mengajak.
“Kalau hari Sabtu ba’da magrib, ada Syaikh yang menyampaikan pelajaran kaidah tajwid.”
“Bawa istri kamu sekalian. Dia bisa bahasa Arab ‘kan?”
“Bisa.”
“Nah, biarkan dia nanti ngobrol sama istri saya.” Tegasnya.
Tadinya berburuk sangka (astagfirullah), sekarang tidak. Dari ceritanya saya merasakan kejernihan dan ketulusan hatinya. Benar kata Umar bin Abdul Aziz bahwa ucapan yang terungkap dari hati akan meresap sampai ke hati.
Jika satu dari 4 lantai rumah dia wakafkan untuk langgar anak-anak menghafal Al-Quran dengan tanpa bayaran, apalagi langgar itu didirikan di lingkungan yang katanya dikenal zona hitam, maka dia bukan orang biasa-biasa di mata para penghuni langit. Dia berhati surga walau tunanetra.
“Saya ingin mengubah kampung ini dengan cahaya Al-Quran.” Ucapnya ketika kami berkunjung ke sana. (Ceritanya akan ada di seri berikut)
Terharu rasanya.
Ceritanya itu menguatkan kembali cita-cita kami berdua sepulang merantau nanti, yaitu mendirikan Rumah PINTAR (pusat belajar Al-Quran, baca gratis, kelas bahasa asing, homestay musafir, dan sebagainya)
Mendengar untaian kata yang mencerminkan ketulusan hati, kebersihan niat, dan kebeningan nuraninya, saya teringat sosok Abdullah bin Umi Maktum. Seorang tunanetra sahabat Nabi Saw. yang diangkat menjadi salah seorang muadzdzin (petugas adzan) Rasulullah Saw.
Dia semangat mencari ilmu, mengais nasehat, dan menyerap petuah beliau Saw. Saking semangatnya, Abdullah bin Umi Maktum datang kepada Rasulullah Saw. dan memohon nasehat beliau ketika sedang mendakwahi pembesar-pembesar Quraisy. Pantas saja oleh Nabi Saw. diabaikan. Tapi beliau Saw. ditegur oleh Allah lewat surat Abasa (QS Abasa [80]: 1-10)
1. “He frowned and turned away,”
2. “Because there came to him the blind man.”
3. “And what would make you know that he might (spiritually) purify himself,”
4 “Or become reminded so that the reminder might profit him?”
5. “As to one who regards himself self‑sufficient,”
6. “To him do you address yourself!”
7. “Though it is no blame on you if he would not (spiritually) purify himself.”
8. “But as to him who comes to you striving hard,”
9. “And he fears (Allah in his heart),”
10. “Of him wast thou unmindful.”
Ya Rabb, bersihkan niat kami, kabulkan cita-cita kami mewujudkan rumah Pintar untuk mencetak generasi Qurani. Restui langkah kami seperti langkah sosok tunanetra berhati Surga ini.
Amin ya mujibassa’ilin.
Rabat, 29 Rabi’ul Awwal 1437 H/10 Januari 2016